Saturday, 20 October 2012

C. KEBUDAYAAN MASYARAKAT PRA AKSARA

C. KEBUDAYAAN MASYARAKAT PRA AKSARA
Zaman pra aksara dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: (1) zaman batu,
dan (2) zaman logam. Pembagian itu didasarkan pada alat-alat atau
hasil kebudayaan yang mereka ciptakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup dan kehidupannya. Secara skematis, pembagian zaman pra
aksara dapat digambarkan sebagai berikut:
Disebut zaman batu karena hasil-hasil kebudayaan pada masa
itu sebagian besar terbuat dari batu, mulai dari yang sedernaha dan
kasar sampai pada yang baik dan halus. Perbedaan itu merupakan
gambaran usia peralatan tersebut. Semakin sederhana dan kasar,
maka peralatan itu dikatakan berasal dari zaman yang lebih tua, dan
sebaliknya. Zaman batu sendiri dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu: (1)
zaman batu tua (paleolitikum), (2) zaman batu tengah (mesolitikum),
dan (3) zaman batu muda (neolitikum). Di samping ketiga zaman
batu itu, juga dikenal zaman batu besar (megalitikum).
Beberapa hasil kebudayaan dari zaman paleolitikum, di
antaranya adalah kapak genggam, kapak perimbas, monofacial,
alat-alat serpih, chopper, dan beberapa jenis kapak yang telah
dikerjakan kedua sisinya. Alat-alat ini tidak dapat digolongkan ke
dalam kebudayaan batu teras maupun golongan fl ake. Alat-alat ini
dikerjakan secara sederhana dan masih sangat kasar. Bahkan, tidak
jarang yang hanya berupa pecahan batu. Beberapa contoh hasil
kebudayaan dari zaman paleolitikum dapat dilihat pada gambar
di bawah ini.
Chopper merupakan salah satu jenis kapak genggam yang
berfungsi sebagai alat penetak. Oleh karena itu, chopper sering


gambar2.3(chopper)
disebut sebagai kapak
penetak. Mungkin kalian
masih sulit membayangkan
bagaimana cara menggunakan
chopper. Misalnya, kalian akan
memotong kayu yang basah
atau tali yang besar, sementara
kalian tidak memiliki alat
pemotong, maka kalian dapat
mengambil pecahan batu yang
tajam. Kayu atau tali yang akan
dipotong diletakan pada benda
yang keras dan bagian yang akan dipotong dipukul dengan batu,
maka kayu atau tali akan putus. Itulah, cara menggunakan kapak
penetak atau chopper.
Contoh hasil kebudayaan dari zaman paleolitikum adalah
flake atau alat-alat serpih. Hasil kebudayaan ini banyak ditemukan
di wilayah Indonesia, terutama di Sangiran (Jawa Tengah) dan
Cebbenge (Sulawesi Selatan). Flake memiliki fungsi yang besar,
terutama untuk mengelupas kulit umbi-umbian dan kulit hewan.
Perhatikan salah satu contoh flake yang ditemukan di Sangiran dan
Cebbenge.
            
Gambar 2.4 Flake dari Sangiran             Gambar 2.5. Flakedari Cabbenge

Pada Zaman Paleolitikum, di samping ditemukan hasilhasil
kebudayaan, juga ditemukan beberapa peninggalan, seperti
tengkorak (2 buah), fragmen kecil dari rahang bawah kanan, dan
tulang paha (6 buah) yang diperkirakan dari jenis manusia. Selama
masa paleolitikum tengah, jenis manusia itu tidak banyak mengalami
perubahan secara fisik. Pithecanthropus Erectus adalah nenek
moyang dari Manusia Solo (Homo Soloensis). Persoalan yang agak
aneh karena Pithecanthropus memiliki dahi yang sangat sempit,
busur alis mata yang tebal, otak yang kecil, rahang yang besar,
dan geraham yang kokoh. Di samping ini adalah salah tengkorak

Gambar 2.6 Tengkorak Manusia Homo Soloensis

Homo Soloensis yang ditemukan oleh Ter Haar,
Oppenoorth, dan von Konigwald di Ngandong
pada tahun 1936-1941.
Pada Zaman Mesolitikum terdapat tiga
macam kebudayaan yang berbeda satu sama
lain, yaitu kebuadayaan: (1) Bascon-Hoabin,
(2) Toale, dan (3) Sampung. Ketiga kebudayaan
itu diperkirakan datang di Indonesia hampir
bersamaan waktunya.
Kebudayaan Bascon-Hoabin ditemukan dalam goa-goa dan
bukit-bukit kerang di Indo Cina, Siam, Malaka, dan Sumatera Timur.
Daerah-daerah itu merupakan wilayah yang saling berkaitan satu
sama lainnya. Kebudayaan ini umumnya berupa alat dari batu
kali yang bulat. Sering disebut sebagai ‘batu teras’ karena hanya
dikerjakan satu sisi, sedangkan sisi yang lain dibiarkan tetap licin.
Sumateralith adalah salah jenis peralatan manusia pra aksara
Indonesia yang berfungsi sebagai alat penetak, pemecah, pemotong,
pelempar, penggali, dan lain-lain. Alat ini ditemukan di Sumatera
dalam jumlah yang sangat banyak. Penemuan ini merupakan
fenomena yang menarik karena
berkaitan dengan kehidupan
masyarakat pada waktu itu.
Sekurang-kurangnya, penemuan
itu merupakan bukti bahwa
kehidupan masyarakat sudah
semakin maju dengan kebutuhan
yang semakin tinggi.
Hasil kebudayaan Toale
dan yang serumpun umumnya,
berupa kebudayaan ‘flake’
dan ‘blade’. Kebudayaan ini
mendapat pengaruh kuat dari
unsur ‘microlith’ sehingga menghasilkan alat-alat yang berukuran
kecil dan terbuat dari batu yang mirip dengan ‘batu api’ di Eropa.
Di samping itu, ditemukan alat-alat yang terbuat dari tulang dan
kerang. Alat-alat ini sebagian besar merupakan alat berburu atau
yang dipergunakan para nelayan.
Kebudayaan-kebudayaan yang mirip dengan kebudayaan Toale
ditemukan di Jawa (dataran tinggi Bandung, Tuban, dan Besuki);
di Sumatera (di sekeliling danau Kerinci dan goa-goa di Jambi); di
Flores, di Timor, dan di Sulawesi. Di bawah ini adalah salah satu
hasil kebuadayaan Toale dari Sulawesi Selatan yang memiliki ukuran
lebih kecil, tetapi tampak lebih tajam dibandingkan dengan kapak
Gambar 2.7 Sumateralith

genggam, kapak perimbas, atau jenis
kapak lainnya.
        
Gambar 2.8.                              Gambar 2.9.Alat dari Tulang dan Tanduk
Blade dan
Alat-alat
Microlith dari
Toale

Di samping alat-alat yang terbuat
dari batu, juga ditemukan alat-alat yang
terbuat dari tulang dan tanduk. Kedua
jenis alat ini termasuk dalam hasil
kebudayaan Toale.
Sementara, kebudayaan Sampung
merupakan kebudayaan tulang dan tanduk yang
ditemukan di desa Sampung, Ponorogo. Barang
yang ditemukan berupa jarum, pisau, dan sudip.
Pada lapisan yang lain telah ditemukan ‘mata
panah’ yang terbuat dari kapur membatu. Di
samping itu ditemukan juga beberapa kerangka
manusia dan tulang binatang buas yang dibor
(mungkin sebagai perhiasan atau jimat).
Tentang persebaran kebudayaan Toale tidak
diketahui secara. Namun, beberapa penelitian
telah membuktikan bahwa kebudayaan ini telah
berkembang di Sulawesi dan Flores.
Kira-kira 1000 tahun SM, telah datang bangsabangsa
baru yang memiliki kebudayaan lebih maju
dan tinggi derajatnya.
Mereka dikenal sebagai bangsa Probo Melayu
dan Deutro Melayu. Beberapa kebudayaan mereka
yang terpenting adalah sudah mengenal
pertanian, berburu, menangkap ikan,
memelihara ternak jinak (anjing, babi,
dan ayam).
Sistem pertanian dilakukan dengan
sederhana. Mer eka menanam tanaman
untuk beberapa kali dan sesudah itu
ditinggalkan. Mereka berpindah ke tempat
lain dan melaksanakan sistem pertanian yang
sama untuk kemudian berpindah lagi. Sistem
pertanian itu sangat tidak ekonomis, tetapi
lebih baik dari kehidupan sebelumnya. Mereka
mulai hidup menetap, meski untuk waktu yang
tidak lama. Mereka telah membangun pondokpondok
yang berbentuk persegi empat siku-siku, didirikan di atas
tiang-tiang kayu, diding-dindingnya diberi hiasan dekoratif yang
indah.
                                  
Gambar 2.10                                                                      Gambar 2.11
Alat-alat dari                                                                           Mata Panah
Tulang dan                                                                               dari Sulawesi
Tanduk (Kebudayaan                                                              (kiri) dan
Sampung)                                                                                 Mata Panah dari Jawa
                                                                                                 (kanan).

Sedangkan peralatan yang mereka pergunakan masih terbuat
dari batu, tulang, dan tanduk. Meskipun demikian, peralatan itu telah
dikerjakan lebih halus dan lebih tajam. Pola umum kebudayaan dari
masa neolitikum adalah pahat persegi panjang. Alat-alat perkakas
yang terindah dari kebudayaan ini ditemukan di Jawa Barat dan
Sumatera Selatan karena terbuat dari batu permata. Di samping itu,
ditemukan beberapa jenis kapak (persegi dan lonjong) dalam jumlah
yang banyak dan mata panah.
                         
Gambar 2.12                             Gambar 2.13                                         Gambar 2.14
Pahat Persegi Panjang              Batu Pemukul Kulit                   Kapak Bulat (kiri) dan Kapak Bertangga
                                              Kayu dari Kalimantan                             (atas).Keduanya berasal
                                                           Barat                                      dari Minahasa, Sulawesi Utara.

Berbagai jenis kapak yang ditemukan memiliki fungsi yang yang
hampir. Pada masa neolitikum, perkembangan kapak lonjong dan
beliung persegi sangat menonjol. Konon kedua jenis alat ini berasal
dari daratan Asia Tenggara yang masuk ke Indonesia melalui jalan
barat dan jalan timur. Persebaran kapak lonjong dan beliung persegi
dapat dilihat dalam peta di bawah ini.

Gambar 2.15
Peta Persebaran
Kapak Lonjong
dan Beliung
Persegi

Berdasarkan hasil penelitian, peralatan manusia purba banyak
ditemukan di berbagai wilayah, seperti daerah Jampang Kulon
(Sukabumi), Gombong (Jawa Tengah), Perigi dan Tambang Sawah
(Beng-kulu), Lahat dan Kalianda (Sumatera Selatan), Sembiran
Trunyan (Bali), Wangka dan Maumere (Flores), daerah Timor Timur,
Awang Bangkal (Kalimantan Timur), dan Cabbenge (SulawesiSelatan). Beberapa peralatan yang penting dan banyak ditemukan,
di antaranya:
Kapak perimbas. Kapak perimbas tidak memiliki tangkai dan
digunakan dengan cara menggenggam. Kapak ini ditemukan hampir
di daerah yang disebutkan di atas dan diperkirakan berasal dari
lapisan yang sama dengan kehidupan Pithecanthropus. Kapak jenis
juga ditemukan di beberapa negara Asia, seperti Myanmar, Vietnam,
Thailand, Malaysia, Pilipina sehingga sering dikelompokkan dalam
kebudayaan Bascon-Hoabin.
Kapak penetak. Kapak penetak memiliki bentuk yang hampir
sama dengan kapak perimbas, tetapi lebih besar dan kasar. Kapak
ini digunakan untuk membelah kayu, pohon, dan bambu. Kapak
ini ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Kapak genggam. Kapak genggam memiliki bentuk yang hampir
sama dengan kapak perimbas, tetapi lebih kecil dan belum diasah.
Kapak ini juga ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Cara
menggunakan kapak ini adalah menggenggam bagian yang kecil.
Pahat genggam. Pahat genggam memiliki bentuk lebih kecil
dari kapak genggam. Menurut para ahli, pahat ini dipergunakan
untuk menggemburkan tanah. Alat ini digunakan untuk mencari
ubi-ubian yang dapat dimakan.
Alat serpih. Alat ini memiliki bentuk yang sederhana dan
ber-dasarkan bentuknya alat diduga sebagai pisau, gurdi, dan alat
penusuk. Alat ini banyak ditemukan di gua-gua dalam keadaan
yang utuh. Di samping itu, alat ini juga ditemukan Sangiran (Jawa
Tengah), Cabbenge (Sulawesi Selatan), Maumere (Flores), dan
Timor.
Alat-alat dari tulang. Tampaknya, tulang-tulang binatang hasil
buruan telah dimanfaatkan untuk membuat alat seperti pisau, belati,
mata tombak, mata panah, dan lain-lainnya. Alat-alat ini banyak
ditemukan di Ngandong dan Sampung (Ponorogo). Oleh karena itu,
pembuatan alat-alat ini sering disebut kebudayaan Sampung.
Blade, flake, dan microlith. Alat-alat ini banyak ditemukan
di Jawa (dataran tinggi Bandung, Tuban, dan Besuki); di Sumatera
(di sekeliling danau Kerinci dan gua-gua di Jambi); di Flores, di
Timor, dan di Sulawesi. Semua alat-alat itu sering disebut sebagai
kebudayaan Toale atau kebudayaan serumpun.
Di samping kebudayaan material, masyarakat pra aksara telah
memiliki atau menghasilkan kebudayaan rohani. Kebudayaan
rohani mulai muncul dalam kehidupan manusia, ketika mereka
mulai mengenal sistem kepercayaan. Sistem kepercayaan telah
muncul sejak masa kehidupan berburu dan mengumpulkanmakanan. Kuburan merupakan salah satu bukti bahwa masyarakat
telah memiliki anggapan tertentu dan memberikan penghormatan
kepada orang telah meninggal. Masyarakat percaya bahwa orang
yang meninggal, rohnya akan tetap hidup dan pergi ke suatu tempat
yang tinggi. Bahkan, jika orang itu berilmu atau berpengaruh dapat
memberikan perlindungan atau nasihat kepada mereka yang
mengalami kesulitan.
Sistem kepercayaan masyarakat terus berkembang.
Penghormatan kepada roh nenek moyang dapat dilihat pada
peninggalan-peninggalan berupa tugu batu seperti pada zaman
megalitikum. Peninggalan megalitikum lebih banyak ditemukan
pada tempat-tempat yang tinggi. Hal itu sesuai dengan kepercayaan
bahwa roh nenek moyang bertempat tinggal pada tempat yang lebih
tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa manusia
mulai menyadari kehidupannya berada di tengah-tengah alam
semesta. Manusia menyadari dan merasakan adanya kekuatan
yang maha dahsyat di luar dirinya sendiri. Kekuatan itulah yang
kemudian di-ketahui berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan yang
menciptakan, menghidupkan, memelihara, dan membinasakan alam
semesta. Dari kepercayaan itu, selanjutnya berkembang kepercayaan
yang bersifat animisme, dinamisme, dan monoisme. Animisme
adalah kepercayaan bahwa setiap benda memiliki roh atau jiwa.
Dinamisme merupakan kepercayaan bahwa setiap benda memiliki
kekuatan gaib. Sedangkan monoisme merupakan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Sebenarnya, zaman megalitikum bukan kelanjutan dari zaman
batu sebelumnya. Megalitikum muncul bersamaan dengan zaman
mesolotikum dan neolitikum. Pada zaman batu pada umumnya,
muncul kebudayaan batu besar (megalitikum)
seperti menhir, batu berundak, dolmen, dan
sebagainya.
Sementara, zaman logam dibedakan menjadi
3 (tiga) zaman, yaitu: (1) zaman Tembaga, (2)
zaman Perunggu, dan (3) zaman Besi. Namun,
zaman Tembaga tidak pernah berkembang
di Indonesia. Dengan
demikian, zaman logam
di Indonesia dimulai
dari zaman Perunggu.
Beberapa peninggalan
dari zaman logam, di
antaranya adalah nekara,bejana, dan kapak yang terbuat dari perunggu, serta belati dari
besi.
                
Gambar 2.16                                                Gambar 2.17
Belati Dongson                                                  Nekara
dan Kapak                                                       Perunggu
Perunggu dari
Flores

1 comment: