Pendudukan Jepang di Indonesia
1.Masuknya Jepang Ke Indonesia
Tentu, kalian masih ingat bahwa Jepang dengan mudah berhasil
menguasai daerah-daerah Asia Timur dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Mengapa demikian? Karena: (1) Jepang telah berhasil menghancurkan
pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawaii pada tanggal
7 Desember 1941; (2) Negeri-negeri induk (Inggris, Perancis, dan Belanda)
sedang menghadapi peperangan di Eropa melawan Jerman; (3) Bangsabangsa
di Asia sangat percaya dengan semboyan Jepang (Jepang pemimpin
Asia, Jepang cahaya Asia, dan Jepang pelindung Asia) sehingga tidak memberi
perlawanan. Bahkan, kehadiran Balatentara Jepang disambut dengan suka
cita karena Jepang dianggap sebagai ‘saudara tua’ yang akan membebaskan
bangsa-bangsa Asia dari belenggu penjajahan negara-negara Barat.
Secara resmi Jepang telah menguasai Indonesia sejak tanggal 8 Maret
1942, ketika Panglima Tertinggi Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa
syarat di Kalijati, Bandung,. Jepang tanpa banyak menemui perlawanan yang
berarti berhasil menduduki Indonesia. Bahkan, bangsa Indonesia menyambut kedatangan balatentara Jepang dengan perasaan
senang, perasaan gembira karena akan membebaskan
bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan bangsa
Belanda.
Sebenarnya, semboyan Gerakan 3A dan pengakuan
sebagai ‘saudara tua’ yang disampaikan Jepang
merupakan tipu muslihat agar bangsa Indonesia dapat
menerima kedatangan Balatentara Jepang. Pada
awalnya, kedatangan pasukan Jepang disambut dengan
hangat oleh bangsa Indonesia. Namun dalam
kenyataannya, Jepang tidak jauh berbeda dengan negara
imperialis lainnya. Jepang termasuk negara imperialis
baru, seperti Jerman dan Italia. Sebagai negara
imperialis baru, Jepang membutuhkan bahan-bahan
mentah untuk memenuhi kebutuhan industrinya dan
pasar bagi barang-barang industrinya. Oleh karena itu,
daerah jajahan menjadi sangat penting artinya bagi
kemajuan industri Jepang. Apalah arti kemajuan industri
apabila tidak didukung dengan bahan mentah (baku)
yang cukup dengan harga yang murah dan pasar barang hasil industri yang
luas.
Dengan demikian, jelas
bahwa tujuan kedatangan
Balatentara Jepang ke
Indonesia adalah untuk
m e n a n a m k a n
kekuasaannya, untuk
menjajah Indonesia. Artinya,
semboyan Gerakan 3A dan
pengakuan sebagai
‘saudara tua’ merupakan
semboyan yang penuh
kepalsuan. Hal itu dapat
dibuktikan dari beberapa
kenyataan yang terjadi
selama pendudukan
Balatentara Jepang di
Indonesia. Bahkan, perlakuan pasukan Jepang lebih kejam sehingga bangsa
Indonesia mengalami kesengsaraan. Sumber-sumber ekonomi dikontrol
secara ketat oleh pasukan Jepang untuk kepentingan peperangan dan industri
Jepang, melalui berbagai cara berikut:
a. Tidak sedikit para pemuda yang ditangkap dan dijadikan romusha.
Romusha adalah tenaga kerja paksa yang diambil dari para pemuda
dan petani untuk bekerja paksa pada proyek-proyek yang dikembangkan
pemerintah pendudukan Jepang. Banyak rakyat kita yang meninggal ketika
menjalankan romusha, karena umumnya mereka menderita kelaparan
dan berbagai penyakit
b. Para petani diawasi secara ketat dan hasil-hasil pertanian harus
diserahkan kepada pemerintah Balatentara Jepang.
c. Hewan peliharaan penduduk dirampas secara paksa untuk dipotong
guna memenuhi kebutuhan konsumsi perang.
2. Kebijakan Pemerintah Pendudukan Jepang
Setelah menduduki Indonesia Jepang mengambil berbagai kerbijakan.
Kebijakan Pemerintah Balatentara Jepang, meliputi berbagai bidang,
diantaranya.
a. Bidang ekonomi
1) Perluasan areal persawahan. Setelah menduduki Indonesia, Jepang
melihat bahwa produksi beras tidak akan mampu meme-nuhi
kebutuhan. Oleh karena itu, perlu dilakukan perluasan areal
persawahan guna meningkatkan produksi beras. Meskipun demikian
produksi pangan antara tahun 1941-1944 terus menurun.
2) Pengawasan pertanian dan perkebunan. Pelaksanaan pertanian
diawasi secara ketat dengan tujuan untuk mengendalikan harga
barang, terutama beras. Hasil pertanian diatur sebagai berikut: 40%
untuk petani, 30% harus dijual kepada pemerintah Jepang dengan
harga yang sangat murah, dan 30% harus diserahkan ke ‘lumbung
desa’. Ketentuan itu sangat merugikan petani dan yang berani
melakukan pelanggaran akan dihukum berat. Badan yang
menangani masalah pelanggaran disebut Kempetai (Korps Polisi
Militer), suatu badan yang sangat ditakuti rakyat.
Pengawasan terhadap produksi perkebunan dilakukan secara ketat.
Jepang hanya mengizinkan dua jenis tanaman perkebunan yaitu karet
dan kina. Kedua jenis tanaman itu berhubungan langsung dengan kepentingan perang. Sedangkan tembakau, teh, kopi harus dihentikan
penanamannya karena hanya ber-hubungan dengan kenikmatan. Padahal,
ketiga jenis tanaman itu sangat laku di pasaran dunia. Dengan demikian,
kebijakan pemerintah Jepang di bidang ekonomi sangat merugikan rakyat.
Pengerahan sumber daya ekonomi untuk kepentingan perang. Untuk
menguasai hasil-hasil pertanian dan kekayaan penduduk, Jepang selalu
berdalih bahwa untuk kepentingan perang. Setiap penduduk harus
menyerahkan kekayaannya kepada pemerintah Jepang. Rakyat harus
menyerahkan barang-barang berharga (emas dan berlian), hewan, bahan
makanan kepada pemerintah Jepang. Untuk memperlancar usahausahanya,
Jepang membentuk Jawa Hokokai (Kebaktian Rakyat Jawa)
dan Nogyo Kumiai (Koperasi Pertanian).
Kebijakan-kebijakan pemerintah Jepang di bidang ekonomi telah
mengakibatkan kehidupan rakyat Indonesia semakin sengsara dan penuh
penderitaan. Penderitaan dan kesengsaraan rakyat Indonesia selama
pendudukan Jepang lebih buruk apabila dibandingkan dengan penderitaan
dan kesengsaraan pada masa penjajahan Belanda. Padahal, Jepang
menduduki Indonesia hanya tiga setengah tahun, sedangkan Belanda
menjajah Indonesia selama tiga setengah abad.
b. Bidang pemerintahan
Pada dasarnya pemerintahan pendudukan Jepang adalah pemerintahan
militer yang sangat diktator. Untuk mengendalikan keadaan,
pemerintahan dibagi menjadi beberapa bagian. Jawa dan Madura
diperintah oleh Tentara ke 16 dengan pusatnya di Jakarta (dulu Batavia).
Sumatera diperintah oleh Tentara ke 25 dengan pusatnya di Bukittinggi
(Sumbar). Sedangkan Indonesia bagian Timur diperintah oleh Tentara ke
2 (Angkatan Laut) dengan pusatnya di Makasar (Sulsel). Pemerintahan
Angkatan Darat disebut Gunseibu, dan pemerintahan Angkatan Laut
disebut Minseibu.
Masing-masing daerah dibagi menjadi beberapa wilayah yang lebih
kecil. Pada awalnya, Jawa dibagi menjadi tiga provinsi (Jawa Barat, Jawa
Tengah, dan Jawa Timur) serta dua daerah istimewa, yaitu Yogyakarta
dan Surakarta. Pembagian ini diang-gap tidak efektif sehingga dihapuskan.
Akhirnya, Jawa dibagi menjadi 17 Karesidenan (Syu) dan diperintah oleh
seorang Residen (Syucokan). Keresidenan terdiri dari kotapraja (Syi),
kabupaten (Ken), kawedanan atau distrik (Gun), kecamatan (Son), dan
desa (Ku).
Sumatera dibagi menjadi 10 karesidenan dan beberap sub-karesidenan
(Bunsyu), distrik, dan kecamatan. Sedangkan daerah Indonesia
Timur yang dikuasai Angkatan Laut Jepang dibagi menjadi tiga daerah
kekuasaan, yaitu: Kalimantan, Sulawesi, dan Seram (Maluku dan Papua).
Masing-masing daerah itu dibagi menjadi beberapa karesidenan,
kabupaten, sub-kabupaten (Bunken), distrik, dan kecamatan.
Pembagian daerah seperti di atas dimaksudkan agar semua daerah
dapat diawasi dan dikendalikan untuk kepentingan pemerintah balatentara
Jepang. Namun, untuk menjalankan pemerintahan yang efektif dibutuhkan
jumlah personil (pegawai) yang banyak jumlahnya. Sedangkan jumlah
orang Jepang yang ada di Indonesia tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan tenaga dalam bidang pemerintahan. Untuk mengawai dan
menjalankan pemerintahan secara efektif merupakan tantangan yang
berat karena terbatasnya jumlah pegawai atau orang-orang yang dapat
dipercaya untuk memegang jabatan penting dalam pemerintahan.
Untuk mengatasi kekurangan jumlah pegawai, pemerintah Jepang
dapat menempuh beberapa pilihan, di antaranya:
1. Memanfaatkan orang-orang Belanda yang masih ada di Indonesia.
Pilihan ini sangat tidak mungkin karena Jepang sedang menanamkan
sikap anti Belanda di kalangan pen-duduk Indonesia.
2. Menggunakan tenaga Timur Asing (Cina). Pilihan ini juga sangat berat
karena Cina dianggap sebagai lawan politik Jepang yang paling
berbahaya untuk mewujudkan cita-cita Jepang, yaitu membangun
Asia Timur Raya.
3. Memanfaatkan penduduk Indonesia. Pilihan ini dianggap yang paling
realistik karena sesuai dengan semboyan ‘Jepang sebagai saudara
tua’ yang ingin membebaskan suadara mudanya dari belenggu
penjajahan bangsa Eropa. Di samping itu, pemakaian bangsa
Indonesia sebagai dalih agar bangsa Indonesia benar-benar bersedia
membantu untuk memenangkan perang yang sedang dilakukan
Jepang.
Sebenarnya, pilihan-pilihan di atas sama-sama tidak menguntungkan.
Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan (bahkan terpaksa)
Jepang memilih penduduk Indonesia untuk membantu menjalankan roda
pemerintahan. Jepang pun dengan berat harus menyerahkan beberapa
jabatan kepada orang Indonesia. Misalnya, Departemen Urusan Agama
dipimpin oleh Prof. Husein Djajadiningrat, serta Mas Sutardjo
Kartohadikusumo dan R.M.T.A. Surio sebagai Residen Jakarta dan
Residen Bojonegoro. Di samping itu, beberapa tokoh nasional yang mendapat
kepercayaan untuk ikut menjalankan roda pemerintahan adalah Ir.
Soekarno, Mr. Suwandi, dr. Abdul Rasyid, Prof. Dr. Supomo, Mochtar bin
Prabu Mangkunegoro, Mr. Muh, Yamin, Prawoto Sumodilogo, dan
sebagainya. Bahkan, kesempatan untuk duduk dalam Badan
Pertimbangan Pusat (Chuo Sangi In), semacam Volksraad pada zaman
Belanda semakin terbuka.
Kesempatan untuk menduduki beberapa jabatan dalam pemerintahan
Jepang dan menjalankan roda pemerintahan merupa-kan pengalaman yang berharga bagi bangsa Indonesia, terutama setelah
Indonesia merdeka. Sebagai bangsa yang merdeka, bangsa Indonesia
harus mampu menjalankan pemerintahan secara baik. Oleh karena itu,
pengalaman pada masa pemerin-tahan Jepang merupakan modal yang
sangat berguna karena bangsa Indonesia memiliki kemampuan untuk
mengelola orga-nisasi besar seperti negara.
c. Bidang militer
Sejak awal pendudukannya, Jepang selalu berusaha menarik hati
bangsa Indonesia agar bersedia membantu pemerintah Jepang dalam usaha
untuk memenangkan peperangan melawan Sekutu. Bangsa Indonesia hampir
selalu dilibatkan dalam berbagai organisasi militer maupun organisasi semi
militer.
Beberapa organisasi militer yang dibentuk pemerintah Jepang, di
antaranya:
1) Heiho (pembantu prajurit Jepang) adalah kesatuan militer yang dibentuk
oleh pemerintah Jepang yang beranggotakan para pemuda Indonesia.
Heiho menjadi bagian Angkatan Darat maupun Angkatan Laut Jepang.
Anggota Heiho mendapat latihan
kemiliteran agar mampu menggantikan
prajurit Jepang di dalam peperangan. Para
anggota Heiho mendapat latihan untuk
menggunakan senjata (senjata anti
pesawat, tank, artileri medan, mengemudi,
dan sebagainya). Namun, tidak ada
satupun anggota Heiho yang berpangkat
perwira. Pangkat perwira hanya
dipeuntukkan bagi orang-orang Jepang.
Para anggota Heiho mendapat latihan
kemiliteran. Untuk itu, pemerin-tah Jepang
menugaskan seksi khusus dari bagian
intelejen untuk melatih para anggota Heiho.
Latihan dipimpin oleh Letnan Yana-gawa
dengan tujuan agar para pemuda
Indonesia dapat melak-sanakan tugas intelejen.
2) Pembela Tanah Air (PETA) dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943.
Menjelang berakhirnya latihan kemiliteran angkatan ke 2, keluarlah surat
perintah untuk membentuk PETA. Namun, Letjen Kamakici Harada
memutuskan agar pembentukkan PETA bukan inisiatif pemerintah
Jepang, melainkan inisiatif bangsa Indonesia. Untuk itu, dicarilah seorang
putera Indonesia yang berjiwa nasionalis untuk memimpin PETA.
Akhirnya, pemerintah Balatentara Jepang meminta Gatot Mangunpraja
(seorang nasionalis yang bersimpati terhadap Jepang) untuk menulis
permohonan pembentukkan tentara PETA.
Surat permohonan telah dikirim pada tanggal 7 September 1943 dan
permohonan itu dikabulkan dengan dikeluarkan peraturan yang disebut
Osamu Seirei No. 44, tanggal 3 Oktober 1943. Pembentukkan PETA,
ternyata menarik perhatian para pemuda Indonesia, terutama yang telah
mendapat pendidikan
sekolah menengah dan para
anggota Seinendan.
Keanggotaan PETA
dibedakan dalam beberapa
pangkat yang berbeda
(sebenarnya bukan pangkat,
tetapi nama jabatan). Ada
lima macam pangkat, yaitu:
(1) Daidanco (Komandan
Batalyon), (2) Cudanco
(Komandan Kompi), (3)
Shudanco (Komandan
Peleton), (4) Budanco
(Komanda Regu), dan (5)
Giyuhei (Prajurit Sukarela).
Daidanco (Komandan Batalyon) dipilih dari tokoh-tokoh masyarakat
yang terkemuka seperti pegawai pemerintah, pemimpin agama, pamong
praja, para politikus, penegak hukum, dan sebagainya. Cudanco
(Komandan Kompi) dipilih dari mereka yang bekerja, tetapi belum memiliki
jabatan yang tinggi seperti para guru, juru tulis, dan sebagainya. Shudanco
(Komandan Peleton) biasanya dipilih dari para pelajar sekolah lanjutan
pertama dan atas. Budanco (Komanda Regu) dan Giyuhei (Prajurit
Sukarela) dipilih dari para pelajar sekolah dasar.
Para pemuda yang menjadi anggota PETA dapat dibedakan menjadi
tiga, yaitu; (1) mereka yang menjadi anggota PETA dengan semangat
yang tinggi, (2) mereka yang menjadi anggota PETA karena dipengaruhi
orang lain, dan (3) mereka yang menjadi anggota PETA dengan perasaan
acuh tak acuh. Di antara mereka ada yang beranggapan bahwa
kemenangan Jepang dalam Perang Pasifik akan membawa perubahan
hidup bangsa Indonesia, yaitu sebagai bangsa yang merdeka. Di samping
itu, ada yang percaya pada ramalan Joyoboyo bahwa Jepang akan
meninggalkan Indonesia dan Indonesia akan menjadi negara yang
merdeka. Untuk itu, Indonesia memerlukan tentara untuk mengamankan
wilayahnya.
Para anggota PETA mendapat pendidikan militer di Bogor pada
lembaga Jawa Boei Giyugun Kanbu Renseitai (Korps Latihan Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa). Nama lembaga itu kemudian
berubah menjadi Jawa Boei Giyugun Kanbu Kyoikutai (Korps Pendidikan
Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa). Setelah mendapat
pendi-dikan, mereka ditempatkan pada daidan-daidan yang tersebar di
Jawa, Madura, dan Bali.
Dalam perkembangannya, beberapa anggota PETA mulai kecewa
terhadap pemerintah Balatentara Jepang. Kekecewaan itu berujung pada
meletusnya pemberontakkan.
Pemberontakkan PETA
terbesar terjadi di Blitar pada
tanggal 14 Februari 1945 yang
djipimpin oleh Supriyadi.
Pemberontakkan itu dipicu
karena kekejaman Jepang
dalam memperlakukan para
pemuda yang dijadikan tenaga
romusha.
Adapun organiasi semi
militer yang dibentuk Jepang
antara lain;
1) Gerakan 3A (Jepang
Pemimpin Asia, Jepang
Cahaya Asia, dan Jepang Pelindung Asia) merupakan organisasi sosial
yang bertujuan untuk mewadahi bangsa Indonesia agar lebih mudah untuk
mengaturnya, terutama untuk mencapai tujuan Jepang. Gerakan 3A yang
dipimpin oleh Mr. Syamsuddin, bertujuan:
a) Menghimpun bangsa indonesia untuk mengabdi kepada kepentingan
Jepang.
b) Mempropagandakan kemenangan Jepang.
c) Menanamkan anti Barat, terutama Belanda, Inggris, dan USA.
2) Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Putera dibentuk untuk menggantikan
Gerakan 3 A. Organisasi ini dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan
semangat bangsa Indonesia dalam membantu pemerintah Jepang dalam
perang melawan Sekutu. Putera didirikan pada tanggal 1 Maret 1943
dipimpin oleh Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan
Kyai Haji Mansyur. Mengapa Jepang memilih tokoh-tokoh yang terkenal
dan berpengaruh untuk memimpin Putera? Namun, para tokoh pergerakan
nasional itu ingin menggunakan Putera sebagai alat perjuangan. Maksud
tersebut diketahui oleh Jepang sehingga organisasi itu dibubarkan pada
tahun 1944. Dengan demikian, maksud pembentukkan Putera tidak dapat
mencapai hasil yang diinginkan.
3) Jawa Hokokai (Kebaktian Rakyat Jawa). Organisasi ini dibentuk pada tahun 1944, setelah kedudukan pasukan Jepang semakin terdesak.
Tujuannya adalah untuk menggerakan seluruh rakyat Indonesia agar
berbakti kepada Jepang. Sebagai tanda bahwa rakyat benar-benar
berbakti, maka rakyat harus rela berkurban, baik harta benda maupun
jiwa dan raga untuk kepentingan perang Jepang. Rakyat Indonesia harus
menyerah-kan emas, intan, dan segala harta benda (terutama beras)
untuk kepentingan perang.
Akibatnya, kemiskinan merajalela di mana-mana, rakyat hanya
berpakaian karung goni, rakyat banyak yang mati karena kelaparan.
Rakyat dididik/dilatih kemiliteran untuk memperkuat pertahanan Indonesia
apabila diserang oleh Sekutu. Rakyat dipaksa untuk melaksanakan kerja
paksa untuk membangun barak-barak militer. Rakyat dipaksa untuk
menjadi romusha.
d. Bidang sosial
Salah satu kebijakan yang cukup penting dalam bidang sosial adalah
pembagian kelas masyarakat seperti pada zaman Belanda. Masyarakat
hanya dibedakan menjadi ‘saudara tua’ (Jepang) dan ‘saudara muda’
(Indonesia). Sedangkan penduduk Timur asing, terutama Cina adalah
golongan masyarakat yang sangat dicurigai karena di negeri leluhurnya
bangsa Cina telah
mempersulit bangsa
Jepang dalam
mewujudkan cita-citanya.
Hal ini sesuai dengan
propaganda Jepang bahwa
‘Asia untuk bangsa Asia’.
Namun dalam
kenyataannya, Indonesia
bukan untuk bangsa Asia,
melainkan untuk bangsa
Jepang. Untuk mencapai
tujuannya, Jepang
mengeluarkan beberapa
kebijakan di bidang sosial,
seperti:
1) Pembentukkan Rukun Tetangga (RT). Untuk mempermudah pengawasan
dan pengerahan penduduk, pemerintah Jepang membentuk Tanarigumi
(RT). Pada waktu itu, Jepang membu-tuhkan tenaga yang sangat besar
jumlahnya untuk membuat benteng-benteng pertahanan, lapangan
pesawat terbang darurat, jalan, dan jembatan. Pengerahan masyarakat
sangat terasa dengan adanya Kinrohoishi (kerja bakti yang menyerupai dengan kerja paksa). Oleh karena itu, pembentukkan RT dipandang
sangat efektif untuk mengerahkan dan mengawasi aktivitas masyarakat.
2) Romusha adalah pengerahan tenaga kerja secara paksa untuk
membantu tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh Jepang. Pada
awalnya, romusha dilaksanakan dengan sukarela, tetapi lama kelamaan
dilaksanakan secara paksa. Bahkan, setiap desa diwajibkan untuk
menyediakan tenaga dalam jumlah
tertentu. Hal itu dapat dimaklumi karena
daerah peperangan Jepang semakin
luas. Tenaga romusha dikirim ke
beberapa daerah di Indonesia, bahkan
ada yang dikirim ke
Malaysia, Myanmar, Serawak, Thailand,
dan Vietnam. Para tenaga
romusha diperlakukan secara kasar
oleh Balatentara Jepang. Mereka
dipaksa untuk bekerja berat tanpa
mendapatkan makanan, minuman,
dan jaminan kesehatan yang layak.
Kekejaman Jepang terhadap tenaga
romusha menyebabkan para pemuda
berusaha menghindar agar tidak
dijadikan tenaga romusha. Akhirnya,
Jepang mengalami kesulitan untuk
memenuhi kebutuhan tenaga kasar.
3) Pendidikan. Pada zaman Jepang, pendidikan mengalami peru-bahan.
Sekolah Dasar (Gokumin Gakko) diperuntukkan untuk semua warga
masyarakat tanpa membedakan status sosialnya. Pendidikan ini
ditempuh selama enam tahun. Sekolah menengah dibedakan menjadi
dua, yaitu: Shoto Chu Gakko (SMP) dan Chu Gakko (SMA). Di samping
itu, ada Sekolah Pertukangan (Kogyo Gakko), Sekolah Teknik Menengah
(Kogyo Sermon Gakko), dan Sekolah Guru yang dibedakan menjadi tiga
tingkatan. Sekolah Guru dua tahun (Syoto Sihan Gakko), Sekolah Guru
empat tahun (Guto Sihan Gakko), dan Sekolah Guru dua tahun (Koto
Sihan Gakko).
Seperti pada zaman Belanda, Jepang tidak menyelenggarakan jenjang
pendidikan universitas. Yang ada hanya Sekolah Tinggi Kedokteran (Ika
Dai Gakko) di Jakarta, Sekolah Tinggi Teknik (Kagyo Dai Gakko) di
Bandung. Kedua Sekolah Tinggi itu meru-pakan kelanjutan pada zaman
Belanda. Untuk menyiapkan kader pamong praja diselenggarakan Sekolah
Tinggi Pamongpraja (Kenkoku Gakuin) di Jakarta.
4) Penggunaan Bahasa Indonesia. Menurut Prof. Dr. A. Teeuw (ahli Bahasa
Indonesia berkebangsaan Belanda) bahwa pendu-dukan Jepang merupakan masa bersejarah bagi Bahasa Indone-sia. Tahun 1942,
pemerintah pendudukan Jepang melarang penggunaan Bahasa Belanda
dan digantikan dengan Bahasa Indonesia. Bahkan, pada tahun 1943
semua tulisan yang berba-hasa Belanda dihapuskan diganti dengan
tulisan berbahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia tidak hanya sebagai bahasa pergaulan, teta-pi telah
menjadi bahasa resmi pada instansi pemerintah dan lembaga pendidikan.
Sejak saat itu, banyak karya
sastra telah ditulis dalam
Bahasa Indonesia, seperti karya
Armin Pane yang berjudul Kami
Perempuan (1943), Djinakdjinak
Merpati, Hantu
Perempuan (1944), Barang
Tidak Berharga (1945), dan
sebagai-nya. Pengarang lain
seperti Abu Hanifah yang lebih
dikenal dengan nama samaran
El Hakim dengan karyanya
berjudul Taufan di atas Angin,
Dewi Reni, dan Insan Kamil.
Selain itu, penyair terkenal pada
masa pendudukan Jepang,
Chairil Anwar yang mendapat gelar tokoh Angkatan ’45 dengan karyanya:
Aku, Kerawang Bekasi, dan sebagainya.
Dengan demikian, pemerintah pendudukan Jepang telah mem-berikan
kebebasan kepada bangsa Indonesia untuk mengguna-kan dan
mengembangkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar, bahasa
komunikasi, bahasa resmi, bahasa penulisan, dan sebagainya. Bahasa
Indonesia pun berkembang ke seluruh pelosok Tanah Air.
No comments:
Post a Comment